Sabtu, 29 Agustus 2009

Budaya kita dicuri.

Dari berbagai media kita tahu bahwa ada negara tetangga yang mengklaim beberapa budaya kita sebagai miliknya, jelas kita sebagai pemiliknya marah, dongkol dan merasa terhina dll. Tetapi sambil menunggu persoalannya diselesaikan oleh yang berkompeten, sebagai bangsa yang besar marilah kita berpikir dewasa, apakah  tindakan kita yang paling baik dalam batas kemampuan dan kesempatan kita. 

Mulailah bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini kita berperan banyak dalam memelihara dan menjaga budaya-budaya kita. Pertanyaan ini akan lebih besar manfaatnya untuk bangsa maupun untuk diri kita sendiri dari pada kita menghunjam dengan kata-kata kasar dan tidak senonoh seperti dilakukan oleh tetangga kita itu. Perlihatkan bahwa kita bangsa yang lebih dewasa, bangsa yang sangat kaya budaya dan berkepribadian lebih luhur dari mereka. 

Mungkin selama ini kita kurang peduli terhadap budaya sendiri, mungkin malah hanyut oleh budaya import, mungkin juga kita sendiri tidak merasa memiliki budaya luhur yang sagat dikagumi bangsa asing, bahkan mungkin juga kita tidak sadar malah turut merusak budaya kita, ya semuanya serba mungkin kan. 

Budaya yang paling dominnan adalah bahasa, budaya bertutur kata dengan sesama bahkan disebutkan bahwa bahasa adalah pertanda bangsa. Bahasa kita sudah banyak kemajuan dan perkembangannya cobalah bandingkan kalimat berikut dalam bahasa kita masa penjajahan Kolonial Belanda sbb.:

Anak Pa' Kadi belon bisa masoep sekolah kerna belon tjoekoep oemoer toedjoe taon dan disoeroe dateng lagi ditaon njang aken dateng.
Maksudnya adalah : Anak Pak Kadi belum dapat masuk sekolah karena belum cukup umur tujuh tahun dan disuruh datang lagi di tahun mendatang.

Itu hanya contoh kecil saja, dan maaf saya bukan pakar bahasa, jadi tolong diperbaiki bila kurang tepat.

Saya pribadi sekarang turut bangga karena istilah-istilah dunia maya sudah mulai menggunakan istilah baru bahasa Indonesia, misalnya centang, unduh dsb. Memang untuk memperkaya bahasa Indonesia diutamakan dahulu mengambil kata atau istilah bahasa daerah, karena itu adalah bahasa Indonesia juga, namun tidak berarti seenaknya memasukkan kata bahasa daerah meskipun dalam bahasa Indonesia sudah tersedia, karena akan menambah kacau bahasa kita.  


Misalnya kata "banget" mengapa dimasukkan kedalam bahasa Indonesia padahal dalam bahasa Indonesia sendiri sudah banyak yang sepadan, misalnya sangat, amat, sekali. Contonya :"Bangsa Indonesia terkenal sopan banget," mengapa tidak dikatakan: " Bangsa Indonesia terkenal sopan sekali,"? Disampin itu ada juga perubahan-perubahan disengaja dalam bahasa Indonesia yang kurang serasi. Sayang sekali saya bukan pakar bahasa, saya hanya peduli dalam memelihara budaya kita dan merasa bangga mengikuti perkembangannya. Misalnya dulu hanya dikenal kau, engkau, dan kamu untuk kata ganti orang kedua tunggal. Sedangkan dalam bahasa Belanda jij atau je untuk orang yang patut dihormti diganti dengan U (selalu ditulis dengan huruf besar), arti semuanya adalah kau, engkau atau kamu. Dalam hal kesopanan kita tidak mau kalah oleh bangsa asing, oleh karenanya kitapun untuk orang yang patut dihormati, dipakailah Anda, sebagai pengganti kau dan kamu. Namum belakangan ini kau dan kamu sering saya baca diganti dengan lu dan gua, yang sebenarnya lu dan gua itu dulunya hanya dipakai sebagai kata kasar ketika marah dan asalnya dari bahsa daerah Jakarta. Untuk ini saya pribadi  merasa sangat prihatin, bagaimana dengan Anda?








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, untuk komentar Anda di sini: